Hallo Sahabat Baca
Postingan kali
ini kita akan membahas 5 tokoh Fotografer Nasional spesialisasi di foto
Landscape/Wildlife. Postingan ini untuk memenuhi UAS Matakuliah FOTOGRAFI
dengan Dosen Pengampu Bpk. Hermanto M.Ti
Yuk simak
dibawah ini
1. Oscar Motuloh
Oscar Motuloh adalah seorang
fotojurnalis terkemuka Indonesia yang lahir di Surabaya pada tanggal 17 Agustus
1959. Ia memulai karirnya dengan menjadi wartawan tulis Antara pada tahun 1988
setelah mengikuti Kursus Dasar Pewarta (Susdape). Pada tahun 1990, dia ditunjuk
oleh Parni Hadi, pemimpin redaksi Antara untuk menangani biro foto. Pada
awalnya, Oscar belajar fotografi secara otodidak, namun pada taun 1991 dan
1993, ia belajar mengenai fotojurnalisme di Hanoi dan Tokyo.
Oscar Motuloh pernah menjabat sebagai direktur Biro Foto Antara, dan sekarang merupakan penanggung jawab dan kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara yang didirikannya pada tahun 1992. Galeri Foto Jurnalistik Antara adalah galeri foto jurnalistik pertama dan satu-satunya di Asia Tenggara yang terletak di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Di luar jabatannya di Biro Foto dan Galeri Antara, ia juga mengajar fotojurnalistik di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta dan sering diundang sebagai pembicara dalam acara diskusi foto, sebagai juri dalam lomba-lomba foto, dan sebagai kurator pameran. Oscar Motuloh juga terlibat dalam pembentukan Pewarta Foto Indonesia, sebuah organisasi yang menaungi para fotojurnalis. Pada tahun 2011, Oscar Motuloh mendirikan Liga Merah Putih bersama Julian Sihombing, Jay Subiakto, Enrico Sukarno, Yori Antar, John Suryadmadja, dan Astafarinal St. Rumah Gadang.
Beberapa pameran tunggal yang pernah diadakannya adalah “Voice of Angkor” yang diadakan pada tahun 1997 dalam kerjasama dengan Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta,”Carnaval” pada tahun 1999, “Chansons Périphériques” pada tahun 2002 mengenai kaum minoritas di Prancis, “The Art of Dying” pada tahun 2003 di Bentara Budaya Jakarta, dan yang “Soulscape Road” atau “Lintasan Saujana Jiwa” pada tahun 2009 di Galeri Salihara. Pameran foto “Soulscape Road” ini juga pernah dipamerkan di Tropenmuseum di Amsterdam m kerjasama dengan Pemerintah Belanda.
Ia juga mengedit buku foto seperti “Samudra Air Mata” yang diterbitkan di tahun 2005 yang menampilkan hasil karya 17 fotografer mengenai tsunami di Aceh. Selain menjadi editor, ia juga mengkuratori beberapa buku foto dan pameran seperti “The Struggle Continues, 100 Days On” yang diluncurkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara, “Viewpoints” yang menampilkan karya Sigit Pramono dan Lans Brahmantyo, “Soul Oddyssey” pada tahun 2005, dan “Omar’s Visual Journey” pada tahun 2010. Pada tahun 2005 juga, bekerja sama dengan 7 fotografer lainnya, menerbitkan buku “The Loved Ones.” Pada tahun 2009 ia menerbitkan buku foto “Soulscape Road” mengenai bencana-bencana yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2011, bersama dengan 9 fotografer lainnya yang sebagian besar tergabung dalam Liga Merah Putih, mengadakan pameran foto dan peluncuran buku foto yang berjudul “Indonesia A Surprise” yang diadakan di Galeri Salihara. Buku Indonesia A Surprise ini menampilkan beberapa puisi dan essay dari Goenawan Mohamad.
Oscar Motuloh pernah menjabat sebagai direktur Biro Foto Antara, dan sekarang merupakan penanggung jawab dan kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara yang didirikannya pada tahun 1992. Galeri Foto Jurnalistik Antara adalah galeri foto jurnalistik pertama dan satu-satunya di Asia Tenggara yang terletak di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Di luar jabatannya di Biro Foto dan Galeri Antara, ia juga mengajar fotojurnalistik di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta dan sering diundang sebagai pembicara dalam acara diskusi foto, sebagai juri dalam lomba-lomba foto, dan sebagai kurator pameran. Oscar Motuloh juga terlibat dalam pembentukan Pewarta Foto Indonesia, sebuah organisasi yang menaungi para fotojurnalis. Pada tahun 2011, Oscar Motuloh mendirikan Liga Merah Putih bersama Julian Sihombing, Jay Subiakto, Enrico Sukarno, Yori Antar, John Suryadmadja, dan Astafarinal St. Rumah Gadang.
Beberapa pameran tunggal yang pernah diadakannya adalah “Voice of Angkor” yang diadakan pada tahun 1997 dalam kerjasama dengan Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta,”Carnaval” pada tahun 1999, “Chansons Périphériques” pada tahun 2002 mengenai kaum minoritas di Prancis, “The Art of Dying” pada tahun 2003 di Bentara Budaya Jakarta, dan yang “Soulscape Road” atau “Lintasan Saujana Jiwa” pada tahun 2009 di Galeri Salihara. Pameran foto “Soulscape Road” ini juga pernah dipamerkan di Tropenmuseum di Amsterdam m kerjasama dengan Pemerintah Belanda.
Ia juga mengedit buku foto seperti “Samudra Air Mata” yang diterbitkan di tahun 2005 yang menampilkan hasil karya 17 fotografer mengenai tsunami di Aceh. Selain menjadi editor, ia juga mengkuratori beberapa buku foto dan pameran seperti “The Struggle Continues, 100 Days On” yang diluncurkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara, “Viewpoints” yang menampilkan karya Sigit Pramono dan Lans Brahmantyo, “Soul Oddyssey” pada tahun 2005, dan “Omar’s Visual Journey” pada tahun 2010. Pada tahun 2005 juga, bekerja sama dengan 7 fotografer lainnya, menerbitkan buku “The Loved Ones.” Pada tahun 2009 ia menerbitkan buku foto “Soulscape Road” mengenai bencana-bencana yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2011, bersama dengan 9 fotografer lainnya yang sebagian besar tergabung dalam Liga Merah Putih, mengadakan pameran foto dan peluncuran buku foto yang berjudul “Indonesia A Surprise” yang diadakan di Galeri Salihara. Buku Indonesia A Surprise ini menampilkan beberapa puisi dan essay dari Goenawan Mohamad.
Hasil Karya Oscar Motuloh
2. Kristupa Wicaksana
Kristupa Wicaksana Saragih adalah seorang tokoh fotografi
Indonesia. Ia mulai menekuni dunia fotografi sejak tahun 1992. Bersama dengan
Valens Riyadi, dia mendirikan situs fotografi pertama di Indonesia yang bernama
Fotografer Net.
Situs tersebut pertama kali diluncurkan pada 30 Desember
2002. Dia telah berkeliling ke hampir seluruh pelosok Indonesia untuk
menularkan ilmu fotografi yang ia miliki. Saat ini Fotografer.Net menjadi situs
fotografi terbesar di Asia Tenggara. Selain aktif sebagai fotografer profesional,
ia juga menjadi salah seorang pengajar di Sekolah Fotografer Darwis Triadi dan
sering menulis di surat kabar Kompas dan situs berita online detik.com.
Kristupa menimba ilmu di SMA Kolese De Britto Yogyakarta dan berhasil meraih
gelar sarjananya di Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada. Ia pernah menjadi
koresponden Majalah Hai, tahun 1992-2000. selain itu ia juga mengabdikan ilmu
dengan bekerja sebagai Field Engineer Schlumberger, sebuah perusahaan
multinasional di bidang jasa perminyakan, dan ditempatkan di Vietnam dan Mesir.
Kristupa Saragih meninggal dunia pada 8 Juli 2017. Fotografer senior Indonesia
itu meninggal dunia akibat serangan stroke. Sebelumnya, dikabarkan Kristupa
sempat dilarikan ke Rumah Sakit Bros Renon Bali pada 3 Juli lalu, karena
serangan stroke atau pecah pembuluh darah. Ucapan duka dari berbagai penjuru
mengalir di media sosial dan sempat menjadi trending topic di Twitter dengan
lebih dari seribu cuitan dengan tagar #RIPKristupa.
Hasil Karya Kristupa Wicaksana
3. Darwis Triadi
Darwis Triadi, sosok pria berdarah Jawa ini merupakan salah satu
fotografer profesional di Indonesia. Dia sudah menekuni bidang ini sejak tahun
1979. Namun, banyak lika-liku kehidupan yang harus ia jalani sebelum ia
terkenal seperti sekarang.
Kualitas hasil karyanya tidak perlu diragukan lagi. Ia bahkan
berhasil mendirikan sekolah fotografi bernama Darwis Triadi School of
Photograph di beberapa kota di Indonesia. Dia berkomitmen untuk selalu berbagi
ilmu tentang fotografi kepada yang ingin belajar dan melahirkan fotografer
profesional yang idealis.
Hasil
Karya Darwis Triadi
4. Adi Putra
Anak muda asal
Indonesia ini berhasil menarik perhatian media international. beberapa karyanya di
dunia fotografi lomography mendapat apresiasi. Beberapa media asing yang
mengulas karyanya diantaranya adalah dari negara Spanyol, Hongkong, dan masih
banyak lagi.
Adi memang dikenal memiliki karya yang menarik, unik, dan eksperimental di setiap bidikan kameranya. Fotografer senior Fimela.com, Windy Sucipto, mengungkapkan kekagumannya kepada karya-karya lomography Adi Putra.
Adi memang dikenal memiliki karya yang menarik, unik, dan eksperimental di setiap bidikan kameranya. Fotografer senior Fimela.com, Windy Sucipto, mengungkapkan kekagumannya kepada karya-karya lomography Adi Putra.
Secara teknik fotografi, Adi sangat
menguasai. Dia familiar sekali dengan setting-an kamera lomo serta sudah
memperkirakan akan hasilnya. Yang membuat penasaran adalah proses trial and
error yang dilakukan Adi, hingga memenuhi hasil yang sesuai dengan style dan
keinginannya. Karya-karya foto lomo Adi unik dan bisa membawa orang yang
melihat karyanya ke dunia yang berbeda. Dunia Adi Putra," ungkap Windy
Sucipto.
Perlu diketahui, Adi Putra saat ini berusia
26 tahun. Dia mengenyam pendidikan dengan kuliah di University of Southern
California jurusan Cinematic Arts - Film Production. Dia pun pernah menggarap
film pendek berjudul Adam yang berhasil ditayangkan di Cannes Film Festival
2012 di Short Film Corner.
Hasil Karya Adi Putra
5. Don Hasman
Kalangan fotografer Indonesia tentu sudah familier dengan
nama Don Hasman.
Pria berusia 76 tahun ini telah dikenal sebagai seorang fotografer senior
sekaligus traveler yang telah menjelajahi dunia, menempuh ribuan kilometer
dengan berjalan kaki maupun bersepeda, menelusuri jejak suku-suku pedalaman,
mendaki banyak gunung, bahkan menyelami lautan. Lahir di Jakarta, 7 Oktober 1940, Om Don sapaan akrabnya, sudah mulai memotret sejak usia
11 tahun. Objek potretnya berkonsentrasi pada aspek-aspek antropologi mengenai
daerah-daerah yang berada di pelosok nusantara. Tidak hanya berbakat di bidang
fotografi, sejak kecil ia juga dikenal sebagai pribadi yang berjiwa petualang.
Pada usia 36 tahun, Om Don berhasil mencapai puncak tertinggi di Nuptse,
kawasan Himalaya dengan ketinggian 6.150 mdpl. Prestasi tersebut berhasil
mengukir namanya sebagai orang Indonesia pertama yang menginjakkan kakinya di
Himalaya. Tak hanya itu saja, Om Don juga tercatat berhasil menapaki salah satu
dari tujuh puncak tertinggi di dunia, Gunung Kilimanjaro di Tanzania pada tahun
1985. Meskipun usianya kini sudah tidak lagi muda, pria yang
berhasil menjuarai Trofi Adinegoro untuk Bidang Foto Jurnalistik tahun 1988 ini
masih mampu berjalan kaki sejauh 1.000 km saat menjelajah Saint Jean-Pied de
Port di Perancis Selatan menuju ke Katedral Santiago de Compostela di Cape
Finisterre, Spanyol Barat Laut. Pada tahun 2009, Om Don juga melakukan
pendakian ke Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat, untuk merekam kenangan 200
tahun tragedi meletusnya Gunung Tambora yang menjadi salah satu letusan
terbesar dalam sejarah dunia pada tahun 1815 silam. Cerita pendakian tersebut
kemudian ia tuang ke dalam buku fotografi bersama koleganya, Teobaldus Tri
Prasetyono, yang berjudul “Ziarah Gunung Api Tambora”. Selain itu, karya buku
lainnya berjudul “Urang Kanekes Baduy People”, yang berisi tentang kajian
budaya suku ‘Baduy Dalam’ yang ia kerjakan selama 42 tahun menjadi best-seller
di Indonesia. Memasuki usianya yang ke-76 tahun, pria yang pernah menjabat
sebagai Ketua Asosiasi Fotografer Indonesia selama enam periode ini masih
menikmati dunia fotografi dan petualangan dengan tetap menjunjung tinggi gaya
hidup sederhana. Perjalanan terbarunya ia lakukan pada tahun 2016 lalu dengan
berjalan kaki menuju Santiago de Compostela melalui jalur perak Via de La Plata
(Spanyol) yang terbentang jarak sejauh 1.200 km. Dengan segudang pengalaman
yang dimilikinya, tak heran jika ia diberi predikat sebagai 100 Famous
Photographers in The World yang diberikan oleh sebuah percetakan buku di
Perancis.
Hasil Karya Don Hasman